• Home
  • About
  • Wanderbey
  • Contact
    • Email
    • WhatsApp
    • Line
  • Snap
facebook twitter instagram pinterest Email

haybeys

Bagi seseorang yang selalu menemukan diksi untuk mengejawantahkan isi kepala, kali ini aku kehilangan kata-kata. Tidak hanya hari ini. Kemarin dan selumbari pun kalutku tak mampu lagi menjelma sekumpulan frasa. Segalanya berputar-putar berhenti di kepala, lalu *poof*, hilang begitu saja. Ingatanku menjadi semakin pendek. Seharusnya, sebagaimana yang sudah-sudah, semua yang hilang di kepala setidaknya tersimpan dalam tulisan. Tapi ternyata tidak kali ini...
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Aku tidak pernah membayangkan akan menutup tahun terakhir berkepala dua dengan begitu meriah. Perasaanku penuh, membuncah ke segala arah. Aku ingin merangkum perjalananku lewat kata-kata tapi tiba-tiba aku kesulitan menyusun cerita. Padahal sejak dulu, menulis bagiku bagaikan meramu. Di kanal ini, lima ratus sembilas belas tulisan kuramu selama tiga belas tahun. Meskipun pada akhirnya, hanya seratus lima puluh enam yang kusajikan. Banyak hal terjadi.

Kali ini berbeda. Entah dari mana aku harus mulai menuliskan. Perasaanku yang riuh seiring dengan gegap gempita. Juga tentang menjadi api yang membakar habis diriku sendiri. Kemudian berlari berputar tak dapat menepi. Aku melihat bayanganku di cermin lekat-lekat. Mencoba membaca diriku seperti orang lain membacaku. Aku tidak yakin apakah seseorang yang sedang kulihat di cermin adalah orang yang sama denganku 5 dan 10 tahun yang lalu. Saat ini, kurasa aku adalah masa depan yang berbeda, yang tidak pernah terlintas sebelumnya, yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku kehilangan sebagian diriku tetapi menemukan sebagian diriku yang lain. Sebagian yang tidak pernah kutahu akan ada saat ini. Aku membuka kotak pandoraku, tersesat di dalamnya, enggan untuk beranjak, apalagi menutupnya. Kotak pandoraku, pedang bermata duaku. Harta karunku yang berharga, senjata... yang setiap saat bisa saja menorehkan luka padaku, pada orang-orang di sekitarku...

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Jemariku bergetar. Tulisanku akan meledak-ledak seperti isi kepalaku yang pecah membuncah. Duniaku berputar lebih cepat dalam 24 jam terakhir dan aku tidak bisa benar-benar mencerna apa yang terjadi. Que sera, sera. Begitulah cara pandangku terhadap segala hal. Yasudah. Pikirku pada akhirnya yang bisa kuubah hanyalah masa depan. Sometimes life leads you in unexpected directions, and you have no choice but to keep moving forward. It frequently results in a dead end where you have no choice but to turn around and reroute. The problem is... I don't know where the fuck I am right now. My brain isn't braining. Hatiku berdesir. Pikiranku riuh. Aku tidak tau mana yang harus kuurai.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya tetapi sejak dulu aku sudah tahu bahwa cepat atau lambat aku akan berakhir di Jakarta. Berakhir dalam artian bermuara. Dan jika nanti mengudara menjadi air hujan lalu mengalir pada sungai-sungai entah di mana, itu akan menjadi lain cerita. Tapi saat ini, tiba-tiba, aku sudah berada di Jakarta.

Aku juga tidak tahu kapan bermula, tapi sepanjang yang aku ingat, kekuatan terbesarku adalah keberuntunganku karena aku merasa Tuhan membersamaiku selalu. Bahkan ketika seringkali aku merasa waktu memusuhiku, aku tahu Tuhan ada di ujung jalan menantiku. Lalu ketika hatiku mulai menginginkan ini dan itu, aku bisa segera tahu: "ini waktuku", ini belum waktuku" atau "ini bukan waktuku".

Perjalananku menuju Jakarta terjadi begitu saja. Persiapan hatiku cukup ala kadarnya. Namun mempersiapkan orang-orang di sekitarku yang kurasa tidak sederhana. Keluargaku tahu satu dua tiga arah yang kutuju dan seribu pintu yang kudatangi. Tidak ada kepastian terbentuk meski sudah lama aku mengetuk. Dan Jakarta, menjadi satu-satunya hal yang pasti untuk kuperjuangkan. Begitulah, aku meyakinkan mereka melepasku.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Tidak semua orang dianugerahi dengan pemikiran matang dalam membuat keputusan dan memilih satu atau sekian banyak hal. Tidak pula denganku, yang lebih banyak mengandalkan jiwa impulsif mengendalikan sebagian besar keputusan yang memiliki efek jangka panjang dalam hidupku. Akhirnya, banyak waktu kuhabiskan untuk merenung memikirkan kenapa aku begini dan begitu. Tapi begitulah hidup, kata kebijaksanaan dalam diriku yang akhir-akhir ini mendadak hadir. Lalu seperti banyak orang lainnya, pada akhirnya aku lebih banyak menyesali hal-hal yang tidak kulakukan karena aku tidak cukup memiliki keberanian. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang aku berterima kasih pada diriku karena mengurungkan niatku.

Aku tidak merasa ada yang berubah dari diriku selain betapa dinamisnya perasaanku atas banyak hal. Sebentar merasa begini lalu kemudian begitu. Tapi ketika aku membaca tulisanku yang dulu, rasanya aku tidak mengenali diriku yang seperti itu. Seperti bawang, diriku seolah berlapis-lapis. Hal baru kutemukan setiap hari tapi beberapa hal enggan pergi. Seperti petir di hari yang cerah. Terkadang perasaanku tiba-tiba tak terarah. Aku merasa asing dengan isi kepalaku. Meski begitu, aku meyakini bahwa semua akan kembali baik-baik saja. Tidak ada yang kusesali. Bahkan untuk segala hal yang sampai saat ini masih menghantui dan belum sepenuhnya kupahami. Tidak ada muara pada ujungnya. Seperti seharusnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
New Year, New Me. Begitulah kira-kira yang akan aku tuliskan ketika usiaku 12 tahun lebih muda dari hari ini. Diri mudaku yang selalu bersemangat setiap membuka lembaran baru, entah apapun itu. Mungkin karena saat usia kita masih berakhiran -belas, segala hal terasa seperti kesempatan baru. Ah, sungguh aku merindukan bagian diriku yang seperti itu. Meski banyak sekali kesalahan yang kulakukan, rasa-rasanya aku menjalani hari-hariku dengan penuh dan tak ada penyesalan yang tersisa. Aku bersyukur atas ketidakpedulian dan keberanian yang kugenggam erat kala itu. Karena hari ini, aku menjalani hari-hari dengan penuh hati-hati. Semoga diriku 12 tahun lagi, dapat memahami tanpa menghakimi.

Berbicara soal angka, tahun ini genap 12 tahun aku menulis disini. Ruang ini terasa seperti zona aman bagiku karena dimanapun aku menulis dan meninggalkan jejak, pada akhirnya disinilah aku kembali menyimpan kepingan cerita kehidupanku. Sepatah-sepatah. Karena bahkan aku sendiri kesulitan menyusun puzzlenya di dunia nyata. Tulisan ini seharusnya menjadi yang pertama tayang tahun ini, tapi entah karena menunda-nunda atau tiba-tiba otakku buntu tidak tahu mau menulis apa, semua terhenti. Lalu tiba-tiba saja Maret sudah datang lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Tahun ini menjadi tahun paling tidak produktifku dalam menulis. Setidaknya di sini. Tapi bukan berarti aku tidak menulis sama sekali. Aku berpindah tempat. Dimana aku merasa lebih aman dan tidak ditemukan oleh orang lain selain diriku. Aku merasa akan bisa lebih jujur terhadap perasaan-perasaan yang aku rasakan. Lalu tanpa kusadari, "gemuruh" menjadi kata paling mewakili tahun ini. Perasaan marah yang hilang timbul seiring dengan kecewa. Lalu bahagia yang ala kadarnya. Dan banyak hal-hal statis yang patut disyukuri. Aku bertahan lagi.

Aku bersyukur atas segala hal yang kualami, kurasakan, kukeluhkan, dan kunafikan. Aku bersyukur atas segala kebahagiaan yang seringkali datang sepaket dengan kesedihan. Aku bersyukur atas semua orang yang kutemui, yang datang lalu pergi, yang datang lalu tinggal, yang melintas selewat, yang tak pernah saling sapa dan bahkan yang sekedar tahu nama. Aku bersyukur atas mata yang terbangun, nafas yang kuhirup, orang yang kucintai di sisiku dan hati penuh rasa sayang dan syukur. Aku bersyukur atas rasa syukur itu sendiri.

Terima kasih, 2022. Aku harap, 2023 datang lebih hangat dan menyenangkan...

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Family is a complex set of traditions. Even though it should be a safe place to be yourself. Even though it should be a safe haven to not be a part of that tradition. But for some people, many people, they have to work their ass off just to be on their own. I called it syadz. I'm the syadz. I was born and raised differently. Sometimes I feel okay about it and sometimes I don't. But mostly I am. But now I'm not.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
Kepingan ingatan yang seharusnya kukubur dalam-dalam dan memang sudah kulakukan tiba-tiba menyeruak sejernih air minum satu tegukan. Jelas tanpa ilusi dan tidak berbayang seolah baru kemarin terjadi. Aku bisa apa? Hidungku menghianati dengan mengingat segala jenis wewangian yang pernah terhirup meskipun hanya sesaat. Sepetak melumat rindu haru biru. Entah aku bicara apa.
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Tahun ini, aku lebih banyak mempertanyakan tentang ini dan itu. Memikirkan berulang-ulang. Mengolah rasa. Membuka rekam jejak ingatan. Menimbang-nimbang. Meskipun pada akhirnya lagi-lagi jalan buntu menuntunku kembali ke titik mula semu. Aku rasa semua orang membenciku, pikirku berkali-kali yang kemungkinan terbesarnya tentu hanya asumsiku seorang diri. Karena tentu saja manusia lainpun sama sepertiku, sibuk tentang dirinya sendiri. Lebih banyak tidak peduli.

Halo, diriku. Ada tiga jurnal menantiku untuk segera kubaca, pahami, ringkas dan kritisi tapi aku justru semakin asyik menulis disini. Mudah sekali rasanya mengurai kata-kata jika itu bukan soal tugas kuliah. Lagi-lagi, untuk yang kesejuta kalinya aku mengutuki keputusanku melanjutkan studi. Benar-benar beban hidup yang baru seolah kehidupanku ringan seringan kapas di mejaku. Tentu saja aku tau. Tetapi jiwa impulsifku menolak mentah-mentah pertimbangan akal sehatku. Halo, hari-hari begadang dan tidak pernah tidur di bawah pukul satu.

Ternyata aku jauh lebih bodoh dari perkiraanku. Wkwkwk. Tapi kalau bukan sekarang kapan lagi? Percayalah, hari ini aku sudah mencoba menghibur diriku puluhan kali sembari melihat Chaca tertidur lelap dengan nyamannya dan membuatku ingin segera bergabung. Yasudah, aku akan berhenti mengulur waktu dan kembali membaca jurnalku. Selamat malam.. Doakan tugasku selesai sebelum pukul satu :)

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Di mataku, dunia rapuh serapuh hatiku. Akhir-akhir ini seringkali aku terus menerus menyalahkan ketidakcakapanku atas banyak hal. Juga tentang kenapa aku harus bertanggung jawab terhadap pilihan yang orang lain buat. Asumsi buruk memenuhi akalku dan sedang susah payah kutepis. Sedang. Aku masih berusaha sembari menuliskan ini semua. Bagiku saat ini menulis adalah obat yang tak dapat kutemukan penggantinya.

Dunia rapuh yang ditinggali oleh manusia rapuh. Atau mungkin dunia menjadi rapuh karena manusia rapuh sepertiku. Entah mulai dari mana aku harus mencari kekuatan untukku berdiri tegak tanpa penopang. Sungguh hanya diriku yang bisa kuandalkan untuk memerangi apa yang orang lain tak bisa jangkau dalam otakku yang pilu. Kuakhiri tulisanku, maka doakan keberhasilanku :)

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Kubiarkan air mata memenuhi jantung hatiku yang kering dan banyak tak pedulinya. Kupenuhi sungai jiwaku dengan ingatan-ingatan yang tidak seharusnya kuabaikan. Kusadari sepenuhnya saat aku berlari, banyak orang tertinggal dengan ritmeku yang gila. Ya Tuhaan, maafkan aku... Kekhawatiran yang selama ini kusembunyikan menyeruak serentak. Sakit. Ketakutan aku dibuatnya sembari tetap berlari di tempat.

Jeda datang tiba-tiba seperti rem mendadak. Lalu linglung dengan konsentrasi pecah ke segala arah. Mataku melihat dengan seksama orang-orang yang kupedulikan ternyata hanya numpang lewat di kehidupanku. Kemarahanku tertahan. Aku tak bisa apa-apa selain mengumpulkan sisa kekuatanku dan bangkit lagi meski beberapa orang melihatku dengan risih dan menghakimi.

Aku tau yang terbaik, pikirku, inginku. Kesombongan ini datang serta merta saat aku ingat bahwa aku punya Tuhan Yang Maha Segala bersamaku, selalu.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
Aku percaya bahwa takdir Allah pastilah yang terbaik. Pun ketika Allah memberikan cobaan. Bukan karena kita mampu dan sanggup, tapi karena kita akan dimampukan dan disanggupkan. Seperti awal tahun ini yang kuawali dengan berlari. Sedikit terbang tetapi membumi. Meskipun pada akhirnya sayapku patah. Sudahlah, toh ini bukan kali pertamaku terjatuh.

Aku tidak pernah tahu dari mana harus memulai. Seringkali aku tiba-tiba sudah berdiri diantara reruntuhan untuk bersiap membangun kembali. Seperti tahun ini. Ketika aku merasa sudah tiba saatnya, Allah mengambilnya begitu cepat seolah berkata belum dan bukan. Menunggu masih jadi takdir terbaik bagiku. Tidak apa-apa. Jalan hidupku sudah di luar perhitungan manusiaku. Dan aku baik-baik saja.

Allah sayang padaku. Prasangkaku pada Tuhanku dan prasangka Tuhanku padaku yang paling penting. Semoga... apa kata orang, aku tetap bergeming. Tuhan Penciptaku, Maha Tahu Tentangku.
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Pagi ini aku bangun dan berharap untuk menemukan alasan lain kenapa aku harus terus bertahan untuk berjuang. Hari ini rasanya seperti aku sedang berlari-lari di hutan lalu tersesat tanpa penunjuk arah dan tak tahu jalan untuk keluar. Aku mengandalkan instingku yang lelah. Kalau hari ini belum bisa, mungkin besok atau lusa. Atau bisa saja minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. Perbekalanku yang tidak seberapa ini hampir habis dan belum kutemukan air untuk kuminum dan tumbuhan liar untuk kumakan. Aku sendirian.

Aku sudah lupa rasanya keadaan di luar. Bayangan tentang masa depan dan masa laluku tertutup oleh pohon-pohon yang mungkin usianya bahkan lebih tua dari kakek buyutku. Hari ini, ribuan pertanyaan berdengung di kepalaku seperti suara kodok setelah hujan. Semua tentang bagaimana. Bagaimana jika ternyata aku tidak akan pernah keluar? Bagaimana rasanya jika tiba-tiba melihat keajaiban di balik pohon rindang? Harapan dan keputusasaanku bersahut-sahutan dalam kepalaku.

Share
Tweet
Pin
Share
1 feedback dari kalian

 Seharusnya sekarang tidak termasuk waktu senggang. Kalaupun iya, seharusnya masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Tapi entah kenapa rasanya aku ingin menulis. Aku sedang duduk menghadap ke arah luar pintu. Hujan deras sedang turun sekarang. Angin dingin menerpa dari pintu dan jendela yang terbuka, juga dari kipas angin yang menyala di sampingku. Kira-kira beginilah keadaan ketika moodku tiba-tiba menjadi sangat baik untuk menulis. Oh dan tentu saja ada lagu yang sedang menemaniku. Aku tidak tahu apa judulnya tapi yang jelas ini lagunya Hivi!. Oh, what a great vibes...

Sekarang sudah mendekati jam pulang di kantorku. Pekerjaan untuk hari ini sudah kuselesaikan. Ketika sampai di paragraf ini, hujan sedang turun semakin deras. Aku membayangkan betapa kuyupnya aku nanti ketika perjalanan pulang. Tapi tak apa. Alhamdulillah. Hujan adalah rizki dari Tuhan. Aku tidak akan mengeluhkan. Oiya, suara hujan menghisap habis lagu yang sedang kuputar. Maklum, aku sedang berada di luar ruangan. Di meja resepsionis menghadap tiang bendera. Bisakah kalian membayangkannya?

Hujan masih saja deras di paragraf ketiga. Baunya semerbak memenuhi tempatku berpijak. Ah, betapa sore yang indah.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Tiba-tiba saja sudah akhir November. Sepertinya aku tidak pernah benar-benar serius saat berkata mau menulis lebih banyak tahun ini. Meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya begitu karena sungguh jika kalian membaca draft dalam notes di hpku, akan kalian temukan puluhan catatan yang memang tidak pernah aku rencanakan untuk dipublikasikan. Biarlah kemarahan dan gundah gulanaku tersimpan rapi untukku sendiri.

Anyway, apa kabar? Masihkah kalian rajin menulis dan membaca? Aku iya. Semata-mata untuk menjaga kewarasanku yang semakin hari semakin kupertanyakan. Haha. Tapi sedari dulu, sepertinya disini menjadi tempatku kabur sejenak untuk melepas penat. Kudoakan kalian juga paling tidak punya satu atau dua tempat untuk kabur sepertiku. Tidak perlu lama, tapi melegakan.

Aku tidak tau lagi apa yang harus kutulis disini. Tetapi jika aku boleh menyontek tulisan dari notesku, maka izinkan aku bercerita tentang apa-apa yang kurasakan akhir-akhir ini. Segalanya baik, alhamdulillah. Tidak ada yang terlalu istimewa. Tetapi jika boleh jujur, sesungguhnya aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang sedang kurasakan setelah semua yang kujalani. Sedihkah? Keceweakah? Bahagiakah? Pasrahkah? Ikhlaskah? Marahkah? Berharapkah? Aku tidak benar-benar tau.

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

Seolah aku bermusuhan dengan waktu.

Berlari, bergerak-gerak dari tenggat waktu sana dan sini.

Mencari celah untuk menumbuhkan pohon harapan untukku sendiri.

Teka-teki ini lebih sulit dari bayanganku.

Seperti jawaban yang sudah ada di ujung penaku, tapi ternyata kotaknya lebih atau kurang satu.

Lalu pikiranku menjadi buntu.

Hilang arah tak tahu harus memberikan jawaban apa sementara orang-orang bertanya menelisik.

Seolah-olah aku adalah topik paling menarik.

Kau pikir aku mampu melawan kehendak pemilik semesta?

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian

 Setelah menikah, seringkali aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri tentang perasaanku dan suamiku. Rasa-rasanya cinta kami semakin tenggelam dan tidak tampak di permukaan seperti dulu saat kami masih berpacaran. Hari ini kutemukan jawaban yang ternyata sederhana sekali. Rasa cinta kami sudah berevolusi.

Pagi ini, belum genap jam delapan dan aku sudah naik turun tangga menuju langit-langit sebanyak lima kali. Untuk aku yang jarang menaiki tangga, hal ini menjadi prestasi. Seperti juara satu saat sedang berkompetisi. Kali pertama dan kedua rasanya takut sekali. Selanjutnya masih takut, tapi sudah terbiasa. Jika untuk perasaan yang tidak nyaman seperti rasa takut saja kita bisa terbiasa, apalagi dengan perasaan cinta? Itu baru poin pertama.

Poin kedua adalah alasan kenapa aku memberanikan diri menaiki tangga. Sebenarnya itu sangat mudah ditebak. Karena Chaca gendut dan aku mengkhawatirkan keselamatannya. Jadi lebih baik aku saja. Rela berkorban untuk hal yang remeh temeh. Eh tapi kalo aku jatuh belum tentu Chaca berhasil menangkapku tanpa ikut terluka juga kan? Jadi ya.. kuanggap ini karena cinta. Haha.

Sebenarnya, aku hanya menemukan 2 poin di atas. Tapi aku cari-cari lagi supaya genap tiga. Atau ganjil tiga? Ah sudahlah. Intinya akan aku tambahkan satu alasan lagi tentang bagaimana aku menemukan definisi baru tentang cinta. Hilihkin..ups.

Hampir 11 tahun. Mungkin itu poin ketiga. Kami menjadi bagian dari hidup satu sama lain sejak masih remaja yang tentu saja tidak tahu menahu tentang apa itu cinta. Lalu bertumbuh. Lalu tahu. Lalu menjadi alasan untuk terus sama-sama. Lalu terbiasa. Seolah Chaca adalah denyut nadiku, tarikan nafasku, detak jantungku. Haha, jika diteruskan aku mulai merasa mual. Tapi yaaaah... intinya. Karena kami terlalu terbiasa lalu lupa. Bukankah itu manusiawi sekali? Lupa maksudku.

Sebagai penutup, izinkan aku untuk mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang seringkali tidak kami sadari sebagai bentuk cinta. Terima kasih ya... :)

Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
Aku tidak begitu yakin apakah dengan seluruh paragraf yang kususun aku bisa disebut piawai dalam mengolah kata. Jika memang iya, maka akan kudedikasikan kepiawaianku dalam menulis untuk manusia yang ketika tulisan ini ditulis sedang ada di hadapanku, sibuk membersihkan hidungnya. Sedikit ia peduli, lebih banyak acuh tak acuh. Bahkan ketika aku mendapatinya bertingkah aneh lalu mengolok-oloknya. Tak bergeming. Begitulah suamiku.

Kemarin baru saja kuhitung. Total waktu aku mengenalnya adalah 128 bulan hingga saat ini. Lumayan lama sebenarnya. Tapi jika melihatku kasmaran setiap hari dengannya seperti ini, orang akan menebak aku baru bertemu dengannya kemarin. Cinta pandangan pertama yang bertahan semoga sampai pandanganku tertutup usia.

Mimpi apa ya aku semalam? Bisa-bisanya sepagi ini perasaanku sudah berbunga-bunga karena jatuh cinta. 
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
Satu tahun berlalu, sejak entah apa. Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang kulewatkan atau apa yang kujalani. Waktu bagiku seperti berlari tanpa kaki. Ringan saja aku sampai pada hari ini. Jadi kurasa, aku baik-baik saja. Setidaknya itu yang kukatakan pada diriku setiap hari. Mari berjuang untuk hari ini dan bertahan sampai besok. Sampai besok. Sampai minggu depan. Sampai bulan depan. Sampai tahun depan. Sampai selamanya. Whoa. Selamanya menakutkan juga ternyata. Baiklah, mari bertahan sampai lelah lalu berhenti lalu memulai lagi.

Ada saatnya aku menulis tidak dengan kepala jernih. Aku tidak tahu kondisiku saat ini. Tapi kubilang jernih rasanya terlalu mengada-ada. Otakku penuh jadi harus kukeluarkan dengan kata-kata. Bukankah segala yang kusut harus diurai? Bagiku, kata-kata inilah prosesnya. Terlalu lama kusimpan sendiri juga berbahaya. Bagiku dan orang-orang yang kuajak bicara dengan nada menyebalkan. Sungguh bukan itu maksudku. Otakku penuh jadi aku kekurangan space untuk segala informasi yang baru.

Seringkali aku bertanya dalam hati, apakah aku berubah? Apakah ketika orang dari masa lalu bertemu denganku mereka akan menyatakan perubahanku sebesar apa? Apakah aku masih sama saja dengan aku sepuluh, lima belas tahun yang lalu? Aku merasa tidak bertumbuh ke arah yang seharusnya. Sebagian diri dari masa laluku tersangkut denganku sekarang ketika seharusnya ia sudah pergi dan aku berganti. Ah, kalau dirasa-rasa jadinya seperti aku tidak berubah sama sekali.

Dua ribu dua puluh. 26 tahun usiaku. Hidup yang sedang kujalani kebanyakan adalah hidup yang aku bayangkan aku jalani lima, sepuluh tahun yang lalu. Kecuali beberapa hal tentu saja. Kekecewaan yang terus berulang dan tak bisa kukendalikan. Rasa kesalku akan banyak hal yang tak bisa kusembunyikan. Kesedihan yang tidak pernah sengaja kutampakkan. Baiklah, untuk satu dan lain hal aku memang menyedihkan. Bolehkah aku melewati tahap susah-susah ini dan langsung menuju baik-baiknya saja? Ataukah ini hal baik yang tak pernah aku sadari atau kupahami? Bolehkah aku melewati kebingungan ini dan langsung menjadi paham saja?

Kenapa ya hidupku rumit? Tiba-tiba sudah bulan ketujuh tahun dua ribu dua puluh. Tahun ini berlari dengan kecepatan cahaya. Bahkan kemarin saja sudah lebih jauh dari hari esok. Begitulah seharusnya. Tapi tetap saja sebelum tidur lebih banyak hal yang kusesalkan daripada yang kusyukuri. Apakah aku sudah sampai batas lelahku? Padahal aku sendiri yang dengan bangga mengatakan aku hidup berdampingan dengan tekanan. Tekanan adalah kawan baikku. Tekanan adalah blah blah blah. Dasar mulutku yang berbahaya.

Lagi-lagi aku menulis di waktu yang tidak seharusnya. Panjang umur semua orang yang sedang berjuang bertahan!
Share
Tweet
Pin
Share
No feedback dari kalian
Older Posts

Hello!

Who's Haybey

Who's Haybey
Haybey is 30 something years young used-to-be-social-media-junkie who loves to tell stories about her daily life

About Me

My photo
Haybey
Jakarta, Indonesia
Berpikir melanglang buana ke langit dengan hati tetap menapak bumi. Berkontribusi tanpa eksistensi. Politico UGM '12.
View my complete profile

Facebook

Friends

My Diary

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  July 2025 (1)
      • Penuh
    • ►  January 2025 (1)
  • ►  2024 (4)
    • ►  December 2024 (2)
    • ►  March 2024 (1)
    • ►  February 2024 (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  December 2023 (1)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  March 2023 (3)
  • ►  2022 (2)
    • ►  December 2022 (1)
    • ►  July 2022 (1)
  • ►  2021 (8)
    • ►  October 2021 (2)
    • ►  September 2021 (1)
    • ►  July 2021 (1)
    • ►  January 2021 (4)
  • ►  2020 (9)
    • ►  December 2020 (2)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  August 2020 (1)
    • ►  July 2020 (2)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  March 2020 (1)
  • ►  2019 (9)
    • ►  October 2019 (1)
    • ►  September 2019 (4)
    • ►  July 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  March 2019 (1)
  • ►  2018 (7)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  July 2018 (3)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  March 2018 (2)
  • ►  2017 (8)
    • ►  December 2017 (1)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (3)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  January 2016 (1)
  • ►  2015 (15)
    • ►  December 2015 (1)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  July 2015 (2)
    • ►  June 2015 (4)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  March 2015 (2)
    • ►  January 2015 (3)
  • ►  2014 (6)
    • ►  December 2014 (4)
    • ►  October 2014 (1)
    • ►  June 2014 (1)
  • ►  2013 (9)
    • ►  November 2013 (3)
    • ►  April 2013 (2)
    • ►  January 2013 (4)
  • ►  2012 (47)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  October 2012 (9)
    • ►  September 2012 (4)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  June 2012 (2)
    • ►  April 2012 (4)
    • ►  March 2012 (7)
    • ►  February 2012 (8)
    • ►  January 2012 (5)
  • ►  2011 (26)
    • ►  December 2011 (12)
    • ►  November 2011 (6)
    • ►  October 2011 (5)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  August 2011 (1)
    • ►  May 2011 (1)

Find Me On

  • twitter
  • instagram
  • youtube

Created with by ThemeXpose