Piringku penuh, menyajikan segala tumpah ruah isi kepala yang terlalu riuh. Rasanya seperti ada yang tak pernah selesai. Tapi nyaliku ciut. Entah aku yang sekarang menjadi penakut, atau duniaku tiba-tiba berkabut. Asam lambungku naik berkala, kadang juga seketika. Aku tercekat. Bibirku terkatup rapat. Leherku meradang geram. Tapi dalam air mata aku tenggelam. Keberanianku karam. Kemarin dan hari ini, rasanya aku tak mengenali diriku lagi. Kemarin tapi bisa jadi telah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tapi tidak tidak bertahun-tahun. Hari ini tapi bisa jadi esok, lusa, tulat, tubin. Aku mulai mengkhawatirkan masa depan yang tidak dalam jangkauan kendaliku. Selesai.
Berhanyut-hanyut perasaanku.
Jatuh tergelincir.
Luruh mencair.
Seolah ada yang bergelayut.
Berat membelenggu, menyiksaku.
Enggan kulepas.
Lalu kubiarkan mengikisku.
Membentuk aku.
Selamat tahun baru..
Bagi seseorang yang selalu menemukan diksi untuk mengejawantahkan isi kepala, kali ini aku kehilangan kata-kata. Tidak hanya hari ini. Kemarin dan selumbari pun kalutku tak mampu lagi menjelma sekumpulan frasa. Segalanya berputar-putar berhenti di kepala, lalu *poof*, hilang begitu saja. Ingatanku menjadi semakin pendek. Seharusnya, sebagaimana yang sudah-sudah, semua yang hilang di kepala setidaknya tersimpan dalam tulisan. Tapi ternyata tidak kali ini...
Empat hari tersisa sebelum tahun baru bermula. Biasanya, pada saat-saat seperti ini aku akan menghentikan laju lariku sejenak, menoleh ke belakang, menertawakan keputusan-keputusan gegabah yang kuambil, menyesali beberapa hal, lalu berpaling tak peduli. Tapi tahun ini sedikit berbeda. Aku tak lagi bisa membaca diriku, tidak juga dapat menebak arah berpikirku, karena semuanya serba tak menentu. Tidak pernah ada yang tahu masa depan kecuali jika mesin waktu tiba-tiba ditemukan. Tapi bagaimanapun itu, aku berharap setahun, lima tahun, sepuluh dan lima puluh tahun lagi, aku tidak sedang duduk dalam penyesalan. Semoga.
Ada lautan dalam namanya, dan seluas itu jualah rasa sayang dalam dirinya.
Mencintai rumahku dan menjaga lenteraku tetap menyala.
Berada di sisiku, bertumbuh bersamaku, memahami dan berkompromi dengan langkah kakiku.
Ada semesta dalam hatinya.
Berpusat padaku.
Berotasi mengelilingiku.
Berpendar di dekatku, berbinar-binar seolah cahaya hanya berpijar dariku.
Ada mata angin dalam dirinya.
Segala penjuru menuju ke arahku.
Berbagi separuh hidupnya denganku.
Selamat ulang tahun, Mas Chaca…
Hari ini dan seterusnya, semoga Allah mengabulkan seluruh doa-doa kita.
Aku tidak pernah membayangkan akan menutup tahun terakhir berkepala dua dengan begitu meriah. Perasaanku penuh, membuncah ke segala arah. Aku ingin merangkum perjalananku lewat kata-kata tapi tiba-tiba aku kesulitan menyusun cerita. Padahal sejak dulu, menulis bagiku bagaikan meramu. Di kanal ini, lima ratus sembilas belas tulisan kuramu selama tiga belas tahun. Meskipun pada akhirnya, hanya seratus lima puluh enam yang kusajikan. Banyak hal terjadi.
Kali ini berbeda. Entah dari mana aku harus mulai menuliskan. Perasaanku yang riuh seiring dengan gegap gempita. Juga tentang menjadi api yang membakar habis diriku sendiri. Kemudian berlari berputar tak dapat menepi. Aku melihat bayanganku di cermin lekat-lekat. Mencoba membaca diriku seperti orang lain membacaku. Aku tidak yakin apakah seseorang yang sedang kulihat di cermin adalah orang yang sama denganku 5 dan 10 tahun yang lalu. Saat ini, kurasa aku adalah masa depan yang berbeda, yang tidak pernah terlintas sebelumnya, yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku kehilangan sebagian diriku tetapi menemukan sebagian diriku yang lain. Sebagian yang tidak pernah kutahu akan ada saat ini. Aku membuka kotak pandoraku, tersesat di dalamnya, enggan untuk beranjak, apalagi menutupnya. Kotak pandoraku, pedang bermata duaku. Harta karunku yang berharga, senjata... yang setiap saat bisa saja menorehkan luka padaku, pada orang-orang di sekitarku...
Jemariku bergetar. Tulisanku akan meledak-ledak seperti isi kepalaku yang pecah membuncah. Duniaku berputar lebih cepat dalam 24 jam terakhir dan aku tidak bisa benar-benar mencerna apa yang terjadi. Que sera, sera. Begitulah cara pandangku terhadap segala hal. Yasudah. Pikirku pada akhirnya yang bisa kuubah hanyalah masa depan. Sometimes life leads you in unexpected directions, and you have no choice but to keep moving forward. It frequently results in a dead end where you have no choice but to turn around and reroute. The problem is... I don't know where the fuck I am right now. My brain isn't braining. Hatiku berdesir. Pikiranku riuh. Aku tidak tau mana yang harus kuurai.