Berhanyut-hanyut perasaanku.
Jatuh tergelincir.
Luruh mencair.
Seolah ada yang bergelayut.
Berat membelenggu, menyiksaku.
Enggan kulepas.
Lalu kubiarkan mengikisku.
Membentuk aku.
Selamat tahun baru..
Berhanyut-hanyut perasaanku.
Jatuh tergelincir.
Luruh mencair.
Seolah ada yang bergelayut.
Berat membelenggu, menyiksaku.
Enggan kulepas.
Lalu kubiarkan mengikisku.
Membentuk aku.
Selamat tahun baru..
Empat hari tersisa sebelum tahun baru bermula. Biasanya, pada saat-saat seperti ini aku akan menghentikan laju lariku sejenak, menoleh ke belakang, menertawakan keputusan-keputusan gegabah yang kuambil, menyesali beberapa hal, lalu berpaling tak peduli. Tapi tahun ini sedikit berbeda. Aku tak lagi bisa membaca diriku, tidak juga dapat menebak arah berpikirku, karena semuanya serba tak menentu. Tidak pernah ada yang tahu masa depan kecuali jika mesin waktu tiba-tiba ditemukan. Tapi bagaimanapun itu, aku berharap setahun, lima tahun, sepuluh dan lima puluh tahun lagi, aku tidak sedang duduk dalam penyesalan. Semoga.
Ada lautan dalam namanya, dan seluas itu jualah rasa sayang dalam dirinya.
Mencintai rumahku dan menjaga lenteraku tetap menyala.
Berada di sisiku, bertumbuh bersamaku, memahami dan berkompromi dengan langkah kakiku.
Ada semesta dalam hatinya.
Berpusat padaku.
Berotasi mengelilingiku.
Berpendar di dekatku, berbinar-binar seolah cahaya hanya berpijar dariku.
Ada mata angin dalam dirinya.
Segala penjuru menuju ke arahku.
Berbagi separuh hidupnya denganku.
Selamat ulang tahun, Mas Chaca…
Hari ini dan seterusnya, semoga Allah mengabulkan seluruh doa-doa kita.
Aku tidak pernah membayangkan akan menutup tahun terakhir berkepala dua dengan begitu meriah. Perasaanku penuh, membuncah ke segala arah. Aku ingin merangkum perjalananku lewat kata-kata tapi tiba-tiba aku kesulitan menyusun cerita. Padahal sejak dulu, menulis bagiku bagaikan meramu. Di kanal ini, lima ratus sembilas belas tulisan kuramu selama tiga belas tahun. Meskipun pada akhirnya, hanya seratus lima puluh enam yang kusajikan. Banyak hal terjadi.
Kali ini berbeda. Entah dari mana aku harus mulai menuliskan. Perasaanku yang riuh seiring dengan gegap gempita. Juga tentang menjadi api yang membakar habis diriku sendiri. Kemudian berlari berputar tak dapat menepi. Aku melihat bayanganku di cermin lekat-lekat. Mencoba membaca diriku seperti orang lain membacaku. Aku tidak yakin apakah seseorang yang sedang kulihat di cermin adalah orang yang sama denganku 5 dan 10 tahun yang lalu. Saat ini, kurasa aku adalah masa depan yang berbeda, yang tidak pernah terlintas sebelumnya, yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku kehilangan sebagian diriku tetapi menemukan sebagian diriku yang lain. Sebagian yang tidak pernah kutahu akan ada saat ini. Aku membuka kotak pandoraku, tersesat di dalamnya, enggan untuk beranjak, apalagi menutupnya. Kotak pandoraku, pedang bermata duaku. Harta karunku yang berharga, senjata... yang setiap saat bisa saja menorehkan luka padaku, pada orang-orang di sekitarku...
Jemariku bergetar. Tulisanku akan meledak-ledak seperti isi kepalaku yang pecah membuncah. Duniaku berputar lebih cepat dalam 24 jam terakhir dan aku tidak bisa benar-benar mencerna apa yang terjadi. Que sera, sera. Begitulah cara pandangku terhadap segala hal. Yasudah. Pikirku pada akhirnya yang bisa kuubah hanyalah masa depan. Sometimes life leads you in unexpected directions, and you have no choice but to keep moving forward. It frequently results in a dead end where you have no choice but to turn around and reroute. The problem is... I don't know where the fuck I am right now. My brain isn't braining. Hatiku berdesir. Pikiranku riuh. Aku tidak tau mana yang harus kuurai.
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya tetapi sejak dulu aku sudah tahu bahwa cepat atau lambat aku akan berakhir di Jakarta. Berakhir dalam artian bermuara. Dan jika nanti mengudara menjadi air hujan lalu mengalir pada sungai-sungai entah di mana, itu akan menjadi lain cerita. Tapi saat ini, tiba-tiba, aku sudah berada di Jakarta.
Aku juga tidak tahu kapan bermula, tapi sepanjang yang aku ingat, kekuatan terbesarku adalah keberuntunganku karena aku merasa Tuhan membersamaiku selalu. Bahkan ketika seringkali aku merasa waktu memusuhiku, aku tahu Tuhan ada di ujung jalan menantiku. Lalu ketika hatiku mulai menginginkan ini dan itu, aku bisa segera tahu: "ini waktuku", ini belum waktuku" atau "ini bukan waktuku".
Perjalananku menuju Jakarta terjadi begitu saja. Persiapan hatiku cukup ala kadarnya. Namun mempersiapkan orang-orang di sekitarku yang kurasa tidak sederhana. Keluargaku tahu satu dua tiga arah yang kutuju dan seribu pintu yang kudatangi. Tidak ada kepastian terbentuk meski sudah lama aku mengetuk. Dan Jakarta, menjadi satu-satunya hal yang pasti untuk kuperjuangkan. Begitulah, aku meyakinkan mereka melepasku.