Muara
Cerita bermula.
Dua
insan mendamba tapi tiada daya.
Kemudian
aku.
Berlari.
Berlari. Berlari. Terbuang. Dibuang. Disayang.
Kukira
hidupku sesederhana menggoreng telur.
Pecah,
rasa, panas, terbalik lalu tersaji.
Nyatanya
tidak.
Penuh
luka dan sayatan dan belas kasihan.
Sungguh
aku tak butuh. Aku tak perlu.
Bagiku,
berdiri di kaki sendiri sudah cukup.
Lebih
dari cukup.
Meskipun
angin menggoyang.
Kaki
menendang menjatuhkan.
Mulut
berdusta diiringi tawa.
Aku
tak peduli. Bagiku, berdiri lebih berarti.
Berdiri
di kaki sendiri.
Lalu
berlari. Berlari. Berlari.
Kutinggalkan
inti yang menyakiti.
Meskipun
nyatanya tidak.
Darah
tidak pernah lebih kental dari air bagiku.
Tapi,
ya, ia memburu dan membelenggu.
Matilah
rasa. Putuslah ikatan.
Biar
hatiku Tuhan saja yang atur.
Kalian,
diam dan hilang saja.
Biar
aku bersama mereka yang bagiku lebih berarti daripada dunia dan seisinya.
Tuhan
sembuhkan luka.
Tuhan
sembuhkan luka.
Tuhan,
aku bertanya.
Kenapa?
0 feedback dari kalian