Pillow Talk
Tadi malam, di bawah bayang-bayang, aku dan Chaca tersadar dari diam. Tenggelam dalam obrolan malam yang panjang. Katanya, pikiranku terlalu rumit dan sibuk. Tak perlu kau pahami, jawabku. Cukup cintai aku yang seperti ini dan dengarkan.
Chaca tau aku suka menulis. Kata dia, menulislah tapi jangan sedih. Dia suka tulisanku yang kacau. Tapi tak suka hatiku yang galau. Menulis. Bercerita dengan ketukan. Aku tau itu membuatku sejenak hilang. Selain berenang tentu saja.
Pikiranku hanya ingin merasa aman, keluhku, hampir setiap hari. Jangan terlalu kau ambil hati, tenang Chaca, hampir setiap hari juga. Lalu aku menangis. Tersedu. Dalam waktu yang tidak sebentar. Berharap semua kekacauan di otakku akan mengalir begitu saja. Meskipun nyatanya tidak. Baju Chaca basah. Maaf. Tapi itu membuatku nyaman. Setidaknya dalam kegaduhan yang kubuat sendiri, aku masih menemukan pijakan untuk sembunyi.
Dua puluh lima tahun hidupku. Kuhabiskan 10 tahun terakhir bertumbuh dengan Chaca. Bagaimana aku tidak merasa nyaman? Mungkin aku rakus. Aku terlalu buta untuk melihat bahwa kebahagiaan bersamanya saja harusnya sudah cukup. Tak perlu memaksakan apa yang sudah sejak aku lahir tak bisa dipaksakan. Aku berharap apa? Tidak. Aku tidak berbicara tentang orang ketiga. Tapi tentang orang-orang sebelum aku. Sebelum ragaku.
0 feedback dari kalian