Aku mengenal semua rasa dalam diriku. Senang, sedih, marah, haru, bangga, banyaklah. Tapi yang paling gawat adalah ketika aku merasa marah dan sedih sekaligus. Otakku benar-benar gabisa diajak kompromi. Berisik minta ampun. Lebih berisik dari mulutku yang sudah berisik. Lalu lari kemana? Tentu saja kesini. Kutulis disini.
Kadang aku tidak mengerti dengan diriku. Kenapa aku tiba-tiba bisa sepeduli ini dengan urusan-urusan yang dulu kuabaikan. Untuk satu hal ini, aku ingin menjadi aku yang dulu. Sepertinya lebih baik bagi kejiwaanku. Tapi selainnya tidak. Aku bangga dengan diriku yang sekarang. See? Pikiranku memang serumit itu.
Semakin banyak orang yang kukenal dan kutemui, respon otak dan hatiku cuman dua “Ya Allah keren bgt... aku nanti mau jadi orang yang kayak gitu” atau “Ya Allah... jangan sampai nanti aku jadi manusia kayak gitu”. Udah. Lalu selebihnya kembali tak peduli. Aku tidak pernah terikat dan mengikat diriku. Untuk hal-hal tertentu. Wah, ini beda lagi. Rumit lagi.
Kau tau tawa ini datang darimana? Dari rasa sakit yang menumpuk sejak bayi. Memang bayi bisa membenci? Kenapa tidak? Jika yang selama ini ia lihat adalah dunia yang penuh dengan kebencian. Dan kebohongan tentu saja. Tidak lupa dengan kedoknya yang manis dan warna-warni. Bungkus. Selalu menarik seperti yang seharusnya.
Luka ini kubalut dengan tawa. Dan Chaca. Ah sungguh tak bisa kubayangkan hidupku tanpa dia. Aku tidak mendramatisir. Tapi dengan hanya hadir, Chaca membuat bebanku 70% terangkat. Meskipun kemudian pikiranku bandel dan air mataku sederas hujan Bulan Desember. Hahaha. Lihat kan? Aku tertawa.
Ah sudahlah. Biar kata-kata yang tidak ada habisnya ini tetap menggema dalam otakku. Selamat bermalam minggu.
Kadang aku tidak mengerti dengan diriku. Kenapa aku tiba-tiba bisa sepeduli ini dengan urusan-urusan yang dulu kuabaikan. Untuk satu hal ini, aku ingin menjadi aku yang dulu. Sepertinya lebih baik bagi kejiwaanku. Tapi selainnya tidak. Aku bangga dengan diriku yang sekarang. See? Pikiranku memang serumit itu.
Semakin banyak orang yang kukenal dan kutemui, respon otak dan hatiku cuman dua “Ya Allah keren bgt... aku nanti mau jadi orang yang kayak gitu” atau “Ya Allah... jangan sampai nanti aku jadi manusia kayak gitu”. Udah. Lalu selebihnya kembali tak peduli. Aku tidak pernah terikat dan mengikat diriku. Untuk hal-hal tertentu. Wah, ini beda lagi. Rumit lagi.
Kau tau tawa ini datang darimana? Dari rasa sakit yang menumpuk sejak bayi. Memang bayi bisa membenci? Kenapa tidak? Jika yang selama ini ia lihat adalah dunia yang penuh dengan kebencian. Dan kebohongan tentu saja. Tidak lupa dengan kedoknya yang manis dan warna-warni. Bungkus. Selalu menarik seperti yang seharusnya.
Luka ini kubalut dengan tawa. Dan Chaca. Ah sungguh tak bisa kubayangkan hidupku tanpa dia. Aku tidak mendramatisir. Tapi dengan hanya hadir, Chaca membuat bebanku 70% terangkat. Meskipun kemudian pikiranku bandel dan air mataku sederas hujan Bulan Desember. Hahaha. Lihat kan? Aku tertawa.
Ah sudahlah. Biar kata-kata yang tidak ada habisnya ini tetap menggema dalam otakku. Selamat bermalam minggu.