Kepingan ingatan yang seharusnya kukubur dalam-dalam dan memang sudah kulakukan tiba-tiba menyeruak sejernih air minum satu tegukan. Jelas tanpa ilusi dan tidak berbayang seolah baru kemarin terjadi. Aku bisa apa? Hidungku menghianati dengan mengingat segala jenis wewangian yang pernah terhirup meskipun hanya sesaat. Sepetak melumat rindu haru biru. Entah aku bicara apa.
Tahun ini, aku lebih banyak mempertanyakan tentang ini dan itu. Memikirkan berulang-ulang. Mengolah rasa. Membuka rekam jejak ingatan. Menimbang-nimbang. Meskipun pada akhirnya lagi-lagi jalan buntu menuntunku kembali ke titik mula semu. Aku rasa semua orang membenciku, pikirku berkali-kali yang kemungkinan terbesarnya tentu hanya asumsiku seorang diri. Karena tentu saja manusia lainpun sama sepertiku, sibuk tentang dirinya sendiri. Lebih banyak tidak peduli.
Halo, diriku. Ada tiga jurnal menantiku untuk segera kubaca, pahami, ringkas dan kritisi tapi aku justru semakin asyik menulis disini. Mudah sekali rasanya mengurai kata-kata jika itu bukan soal tugas kuliah. Lagi-lagi, untuk yang kesejuta kalinya aku mengutuki keputusanku melanjutkan studi. Benar-benar beban hidup yang baru seolah kehidupanku ringan seringan kapas di mejaku. Tentu saja aku tau. Tetapi jiwa impulsifku menolak mentah-mentah pertimbangan akal sehatku. Halo, hari-hari begadang dan tidak pernah tidur di bawah pukul satu.
Ternyata aku jauh lebih bodoh dari perkiraanku. Wkwkwk. Tapi kalau bukan sekarang kapan lagi? Percayalah, hari ini aku sudah mencoba menghibur diriku puluhan kali sembari melihat Chaca tertidur lelap dengan nyamannya dan membuatku ingin segera bergabung. Yasudah, aku akan berhenti mengulur waktu dan kembali membaca jurnalku. Selamat malam.. Doakan tugasku selesai sebelum pukul satu :)
Di mataku, dunia rapuh serapuh hatiku. Akhir-akhir ini seringkali aku terus menerus menyalahkan ketidakcakapanku atas banyak hal. Juga tentang kenapa aku harus bertanggung jawab terhadap pilihan yang orang lain buat. Asumsi buruk memenuhi akalku dan sedang susah payah kutepis. Sedang. Aku masih berusaha sembari menuliskan ini semua. Bagiku saat ini menulis adalah obat yang tak dapat kutemukan penggantinya.
Dunia rapuh yang ditinggali oleh manusia rapuh. Atau mungkin dunia menjadi rapuh karena manusia rapuh sepertiku. Entah mulai dari mana aku harus mencari kekuatan untukku berdiri tegak tanpa penopang. Sungguh hanya diriku yang bisa kuandalkan untuk memerangi apa yang orang lain tak bisa jangkau dalam otakku yang pilu. Kuakhiri tulisanku, maka doakan keberhasilanku :)
Kubiarkan air mata memenuhi jantung hatiku yang kering dan banyak tak pedulinya. Kupenuhi sungai jiwaku dengan ingatan-ingatan yang tidak seharusnya kuabaikan. Kusadari sepenuhnya saat aku berlari, banyak orang tertinggal dengan ritmeku yang gila. Ya Tuhaan, maafkan aku... Kekhawatiran yang selama ini kusembunyikan menyeruak serentak. Sakit. Ketakutan aku dibuatnya sembari tetap berlari di tempat.
Jeda datang tiba-tiba seperti rem mendadak. Lalu linglung dengan konsentrasi pecah ke segala arah. Mataku melihat dengan seksama orang-orang yang kupedulikan ternyata hanya numpang lewat di kehidupanku. Kemarahanku tertahan. Aku tak bisa apa-apa selain mengumpulkan sisa kekuatanku dan bangkit lagi meski beberapa orang melihatku dengan risih dan menghakimi.
Aku tau yang terbaik, pikirku, inginku. Kesombongan ini datang serta merta saat aku ingat bahwa aku punya Tuhan Yang Maha Segala bersamaku, selalu.
Aku percaya bahwa takdir Allah pastilah yang terbaik. Pun ketika Allah memberikan cobaan. Bukan karena kita mampu dan sanggup, tapi karena kita akan dimampukan dan disanggupkan. Seperti awal tahun ini yang kuawali dengan berlari. Sedikit terbang tetapi membumi. Meskipun pada akhirnya sayapku patah. Sudahlah, toh ini bukan kali pertamaku terjatuh.
Aku tidak pernah tahu dari mana harus memulai. Seringkali aku tiba-tiba sudah berdiri diantara reruntuhan untuk bersiap membangun kembali. Seperti tahun ini. Ketika aku merasa sudah tiba saatnya, Allah mengambilnya begitu cepat seolah berkata belum dan bukan. Menunggu masih jadi takdir terbaik bagiku. Tidak apa-apa. Jalan hidupku sudah di luar perhitungan manusiaku. Dan aku baik-baik saja.
Allah sayang padaku. Prasangkaku pada Tuhanku dan prasangka Tuhanku padaku yang paling penting. Semoga... apa kata orang, aku tetap bergeming. Tuhan Penciptaku, Maha Tahu Tentangku.
Bagiku, rasanya sulit sekali berkawan dengan jarak. Apalagi setelah segala upaya yang telah kulakukan justru semakin membuatku merasa kerdil dan tak berdaya. Aku tak ingin terdengar marah pada Tuhanku. Apalagi ketika pertemuan yang kunantikan ini sungguh hanya berjarak kun fayakun milik Allah. Pintu mana lagi yang harus kudatangi, Tuhan..
Seperti siang dan malam, kehidupan manusia selalu bertentangan seperti dua sisi koin yang berlawanan. Meskipun sejujurnya aku berharap bisa berdiri di atas koin yang berputar tanpa harus jatuh pada pilihan sisi yang mana. Pun hari ini ketika Tuhan sangat pandai mengatur waktu seperti biasa. Selesai aku mendapat luka, orang lain tanpa sengaja menebar garam ke angkasa. Meski tentu saja di luar rencananya, tapi lihatlah lukaku semakin menganga. Dusta jika aku bilang sebaliknya.
Aku tidak sempat memelukmu.
Denyut nadimu pun tak berdetak bersamaku.
Sampai jumpa lagi, harapan baruku...