Jemariku bergetar. Tulisanku akan meledak-ledak seperti isi kepalaku yang pecah membuncah. Duniaku berputar lebih cepat dalam 24 jam terakhir dan aku tidak bisa benar-benar mencerna apa yang terjadi. Que sera, sera. Begitulah cara pandangku terhadap segala hal. Yasudah. Pikirku pada akhirnya yang bisa kuubah hanyalah masa depan. Sometimes life leads you in unexpected directions, and you have no choice but to keep moving forward. It frequently results in a dead end where you have no choice but to turn around and reroute. The problem is... I don't know where the fuck I am right now. My brain isn't braining. Hatiku berdesir. Pikiranku riuh. Aku tidak tau mana yang harus kuurai.
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya tetapi sejak dulu aku sudah tahu bahwa cepat atau lambat aku akan berakhir di Jakarta. Berakhir dalam artian bermuara. Dan jika nanti mengudara menjadi air hujan lalu mengalir pada sungai-sungai entah di mana, itu akan menjadi lain cerita. Tapi saat ini, tiba-tiba, aku sudah berada di Jakarta.
Aku juga tidak tahu kapan bermula, tapi sepanjang yang aku ingat, kekuatan terbesarku adalah keberuntunganku karena aku merasa Tuhan membersamaiku selalu. Bahkan ketika seringkali aku merasa waktu memusuhiku, aku tahu Tuhan ada di ujung jalan menantiku. Lalu ketika hatiku mulai menginginkan ini dan itu, aku bisa segera tahu: "ini waktuku", ini belum waktuku" atau "ini bukan waktuku".
Perjalananku menuju Jakarta terjadi begitu saja. Persiapan hatiku cukup ala kadarnya. Namun mempersiapkan orang-orang di sekitarku yang kurasa tidak sederhana. Keluargaku tahu satu dua tiga arah yang kutuju dan seribu pintu yang kudatangi. Tidak ada kepastian terbentuk meski sudah lama aku mengetuk. Dan Jakarta, menjadi satu-satunya hal yang pasti untuk kuperjuangkan. Begitulah, aku meyakinkan mereka melepasku.
Aku akan mencintaimu dengan secukupnya. Sebaik biasanya saja. Lalu bertambah seiring dengan usia kita.
Aku akan mencintaimu dengan secukupnya. Supaya masih tersisa ruang untuk hari esok saat ku membuka mata. Memandangmu di sampingku lekat-lekat. Mensyukuri hadiah terbaik Tuhan di dalam pelukan.
Aku akan mencintaimu dengan secukupnya. Semasa aku hidup sampai kita menjadi tua. Bertumbuh berdua dalam suka cita meski lalui gelap gulita. Aku tak apa asalkan tetap berdua.
Aku akan mencintaimu dengan secukupnya. Tidak berlebih. Tidak berkurang. Secukupnya bagiku memenuhi hatimu.
Tidak semua orang dianugerahi dengan pemikiran matang dalam membuat keputusan dan memilih satu atau sekian banyak hal. Tidak pula denganku, yang lebih banyak mengandalkan jiwa impulsif mengendalikan sebagian besar keputusan yang memiliki efek jangka panjang dalam hidupku. Akhirnya, banyak waktu kuhabiskan untuk merenung memikirkan kenapa aku begini dan begitu. Tapi begitulah hidup, kata kebijaksanaan dalam diriku yang akhir-akhir ini mendadak hadir. Lalu seperti banyak orang lainnya, pada akhirnya aku lebih banyak menyesali hal-hal yang tidak kulakukan karena aku tidak cukup memiliki keberanian. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang aku berterima kasih pada diriku karena mengurungkan niatku.
Aku tidak merasa ada yang berubah dari diriku selain betapa dinamisnya perasaanku atas banyak hal. Sebentar merasa begini lalu kemudian begitu. Tapi ketika aku membaca tulisanku yang dulu, rasanya aku tidak mengenali diriku yang seperti itu. Seperti bawang, diriku seolah berlapis-lapis. Hal baru kutemukan setiap hari tapi beberapa hal enggan pergi. Seperti petir di hari yang cerah. Terkadang perasaanku tiba-tiba tak terarah. Aku merasa asing dengan isi kepalaku. Meski begitu, aku meyakini bahwa semua akan kembali baik-baik saja. Tidak ada yang kusesali. Bahkan untuk segala hal yang sampai saat ini masih menghantui dan belum sepenuhnya kupahami. Tidak ada muara pada ujungnya. Seperti seharusnya.
New Year, New Me. Begitulah kira-kira yang akan aku tuliskan ketika usiaku 12 tahun lebih muda dari hari ini. Diri mudaku yang selalu bersemangat setiap membuka lembaran baru, entah apapun itu. Mungkin karena saat usia kita masih berakhiran -belas, segala hal terasa seperti kesempatan baru. Ah, sungguh aku merindukan bagian diriku yang seperti itu. Meski banyak sekali kesalahan yang kulakukan, rasa-rasanya aku menjalani hari-hariku dengan penuh dan tak ada penyesalan yang tersisa. Aku bersyukur atas ketidakpedulian dan keberanian yang kugenggam erat kala itu. Karena hari ini, aku menjalani hari-hari dengan penuh hati-hati. Semoga diriku 12 tahun lagi, dapat memahami tanpa menghakimi.
Berbicara soal angka, tahun ini genap 12 tahun aku menulis disini. Ruang ini terasa seperti zona aman bagiku karena dimanapun aku menulis dan meninggalkan jejak, pada akhirnya disinilah aku kembali menyimpan kepingan cerita kehidupanku. Sepatah-sepatah. Karena bahkan aku sendiri kesulitan menyusun puzzlenya di dunia nyata. Tulisan ini seharusnya menjadi yang pertama tayang tahun ini, tapi entah karena menunda-nunda atau tiba-tiba otakku buntu tidak tahu mau menulis apa, semua terhenti. Lalu tiba-tiba saja Maret sudah datang lagi.