Mengutip kata-kata Monica tadi siang yang kurang lebih seperti “ini tuh hal baik pertama yang terjadi setelah sekian lama”. Damn, that was so deep. Mungkin ada benarnya. Tapi tidak sepenuhnya. Karena setelah melalui banyak hal dalam 1-2 tahun terakhir, definisi hal baik dalam kehidupanku bener-bener loncat indah dari sesuatu yang besar ke sesuatu yang remeh temeh. And that was a good thing actually. Tapi, yang terjadi hari ini memang benar-benar hal yang baik. Sangat baik.
Seperti yang sudah-sudah. Dalam kehidupanku, aku punya rencana, aku punya harapan, keinginan, juga banyak daftar lain yang sejenis, dan Allah-lah yang pada akhirnya menentukan. Entah seperti seolah aku lupa jika Allah adalah sebaik-baiknya perencana, atau memang aku yang pada dasarnya adalah hamba rendahan, tapi banyak hal masih sering aku keluhkan. Padahal at the end of the day yang kupikirkan seringkali adalah... “what did I do to deserve something like this?”😂
Hampir 25 tahun umurku, tapi rasanya baru setahun ini aku benar-benar hidup seperti orang seusiaku. Anggap saja aku terlambat dewasa. Tapi percayalah, menjadi dewasa secara instan adalah proses yang benar-benar melelahkan. Apa-apa yang tidak perlu aku ketahui sebelumnya, harus kupahami. Apa-apa yang luput dariku sebelumnya, harus aku telusuri. Bahkan apa-apa yang tak begitu berharga sebelumnya, tampak sangat menggiurkan. Dan masih banyak lagi. Namanya juga hidup. Cepat atau lambat kita harus menjadi dewasa.
Anyway, kata Monica, ada dua jenis teman: yang bisa menjaga hubungan jarak jauh, dan yang tidak. Sepertinya aku yang kedua. Tapi kata dia, aku yang pertama. Kemudian aku teringat Qorinna, sohib gabutku. Yang bersamaku dalam dunia virtual 24/7 (atau mungkin kurang sedikit hehe). Iya, mungkin aku tipe yang pertama. Karena siapapun yang membutuhkanku, aku bener-bener one-click-away. Bertambah dewasa secara instan seperti yang kusebutkan tadi juga membuatku sedikit sulit berteman dengan orang baru. Makanya sebisa mungkin aku menjaga mereka-mereka yang sudah ada dan tinggal di hatiku. Jika boleh jujur, instead of family-person, I’m more like friend-person(?). Yah meskipun aku tetap kehilangan beberapa teman.. Hehe
Jadi kemana-mana gini bahasannya. Oke, balik lagi ke judul. Me-manage rasa syukur.
Kedengarannya seperti omong kosong. Tapi dalam setahun ini aku bener-bener belajar bahwa hal baik terjadi di sekitar kita setiap hari. Aku yang sehat. Aku yang bisa makan kenyang. Aku yang bisa tidur nyenyak. Aku yang punya kawan bercerita di malam hari. Aku yang punya keluarga untuk pulang. Aku yang punya teman-teman yang bisa kuhubungi di waktu senggang mereka. Dan rasanya masih banyak hal baik yang ada di sekelilingku yang tidak aku sebutkan disini. Bagiku, Allah benar-benar baik. Sungguh baik. Sangat baik. Paling baik.
Memang benar, hidup tidak selamanya di atas. Apa-apa yang dulu kumiliki dan bisa aku banggakan lama-lama menjadi beban dan juga bayang-bayang. Jadi gabisa move on. Jadi ga bisa bahagia dengan apa yang tersisa. Apa yang aku miliki. Dan dari sanalah aku belajar untuk keluar dari zona nyamanku. Meraba-raba renjana yang masih tersisa dan bisa kujadikan pijakan. Bertukar kabar bahagia dengan kawan-kawanku karena sungguh bahagia itu menular. Pun juga asa yang menggebu. Karena dalam masa-masa sulit yang kulalui kemarin, tidak merasa sendirian dan memiliki pegangan adalah hal paling penting untuk tetap bertahan. Makanya, meskipun aku mulai kehilangan nilai atas diriku, aku menggenggam erat kawan-kawanku untuk tetap mengingat siapa aku. Kawan hidup dan kawan karibku.
Ah, kalau dipikir-pikir lagi memang sesungguhnya hidupku sedari awal sudah diberkahi teman-teman yang menyenangkan. Rejeki yang tak ternilai. Alasan untuk tetap bersyukur disamping alasan-alasan lainnya....